( Bagian Pertama )
Abdul Malik Usman
Devisi Pendidikan Lingkungan
Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah
- Filsafat – istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia dan philosophos. Philos àcinta dan sophia/sophos àilmu pengetahuan, intelegensi, pengalaman, kearifan, dan hikmah (bijaksana). Atau disebut juga sebagai; mengerti secara mendalam tentang hakikat segala sesuatu ( Plato 427- 347 SM ), menyelidiki sebab dan asal segala benda ( Aristoteles 384- 322 SM ), atau juga sebagai ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud serta upaya menyelidiki hakikatnya ( Al-Farabi 870- 950 M ). Hakikat segala yang ada meliputi: hakikat Tuhan ( teologi > fils. Ketuhanan ), hakikat manusia ( antropologi > fils. Manusia ), dan hakikat alam semesta ( kosmologi > fils. Alam ).Filosof menurut Imam Barnadib (Guru Besar Filsafat Pendidikan),adalah jika seluruh ucapan dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan, dan hikmah,(kebijaksanaan). Filsafat atau falsafah sebagai kajian dan sikap hidup yang menggambarkan nilai nila yang terkandung di dalam kebijaksanaan itu (menjadi dasar utamannya).
- Maslah kosmologi ( lingkungan hidup ) berupa hakikat alam semesta beserta kehidupan di dalamnya, menjadi obyek perenungan mendalam oleh sejumlah filosof Yunani abad ke 6 SM atara lain: Thales, Parmenides, Anaximandros, Anaximenes dan Empedokles. Nah filsafat Lingkungan adalah kajian mendalam tentang hal ihwal yang berkenaan dengan dengan alam semesta, ekosistem serta segala interaksi yang berlangsung di dalamnya yang oleh filosof Fritjof Capra menyebutnya sebagai suatu sistem kehidupan yang utuh. Dalam perkembangannya, filsafat lingkungan menjadi sebuah kajian dan disiplin ilmu yakni melakukan kajian kritis sebagai ikhtiar pencarian akar dari krisis dan bencana lingkungan, serta upaya upaya menghindari dampaknya dan ikhtiar menghadirkan solusi alternatif. Alternatifnya menurut seorang filosof lingkungan Arne Naess menyebutnya dengan konsep ECOSOPHY ( Yunani ) yakni kearifan terhadap lingkungan beserta ekosistemnya. Konsep ecosophy ini akan menuntun kita dalam merawat alam lingkungan. Ada juga konsep OIKOS ( Yunani ) bermakna bahwa alam lingkungan beserta seluruh interaksi, saling pengaruh yang terjalin di dalamnya antara semua makhluk hidup dengan keseluruhan ekosistem sebagai rumah bersama atau rumah bagi semua makhluk.
- Mengapa terjadi krisis lingkungan...? Telaah kritis oleh “ The Club of Rome “ di awal tahun 1970 an, bahwa penduduk dunia terutama dunia ketiga,akan mengalami degradasi kualitas lingkungan, satu dari lima kecenderungan dan keprihatinan global, sebagai akibat dari aktivitas di bidang ekonomi dan industri yang didasari nafsu sarakah dan kesewenang wenangan. Kondisi lingkungan kita hari ini adalah bukti tesis futurolog Alvin Toffler 40 tahun lalu tentang future shock.
- Jika ditelaah secara mendalam dengan meminjam tesisnya Thomas Kuhn “ The Structure of Scientific Revolution “ bahwa krisis lingkungan, bermula dari krisis pemahaman (terkait erat dengan pemahaman) atau paradigma ilmu tentang hakikat alam semesta. Jalan keluar dari krisis tersebut menurutnya adalah melakukan perubahan radikal dan fundamental dalam pemahaman kita, dalam cara berpikir kita, dan dalam sistem nilai kita.
- Bahwa Filsafat lingkungan dan atau Filsafat Ilmu Pengetahuan, telah mengalami tiga fase pada dua perubahan paradigma dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Fase pertama zaman para filosof alam seperti Aristoteles (384 SM -322 SM) yang memahami alam semesta secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi diantara berbagai bagian alam semesta. Pemahaman ini berlangsung lama dan bertahan di abad pertengahan hingga abad ke 16 M (1500 M), dimana karakter manusia terbentuk dalam pola relasi dan interaksi harmonis yang melindungi alam lingkungan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Fase kedua lahir pada pasca revolusi industri, era positivisme hingga abad pencerahan (renaissance), yang mengubah cara pandang manusia tentang hakikat alam semesta dan lingkungan. Renaissance telah memfigurkan manusia sebagai titik pusat sejarah (antroposentris) sehingga memunculkan ambisi yang berkobar pada manusia untuk menaklukan alam. Alam dianggap sebagai objek semata yang harus ditundukkan dan dimanfaatkan semkasimal mungkin dengan cara mengeksploitasinya, tanpa memepertimbangkan sisi intrinsik pada diri alam. Ada pergeseran paradigma cara pandang terhadap alam yang memiliki sisi intrinsik (nafs) , ke arah paradigma mekanistik, positivistik dan instrumentalistik. Iptek sebagai produk peradaban modern dipandang sebagai satu satunya alat bantu mengatasi dan menundukkan alam untuk kepentingan hidup manusia (industrialisasi) dan semacamnya.
- Paradigma ini dipengaruhi oleh filsafat Rene Deschartes, Issac Newton hingga Auguste Comte. Pengaruh pandangan yang antroposentris dimana manusia sebagai subjek merasa bahwa bumi (alam lingkungan) seolah miliknya, sehingga ia bebas melakukan apa saja terhadap alam lingkungan. Mestinya manusia harus menyadari kata Robin Attfield bahwa ia bukan pemilik bumi, ia tidak memiliki tanah, air, udara dsb., melainkan sebagai penjaga dan pengelolanya (amanah), karenanya secara etis manusia tidak bebas memeprlakukan bumi ini sesuka hati. Ketiadaan nilai etis –etika (moral transendent) menjadi penyumbang besar bagi bencana lingkungan. Fase ketiga pada ke 19-20 M muncul paradigma baru yakni organis-sistemis (sebagaimana awal munculnya filsafat) serta didukung oleh temuan relativisme dan teori kuantum oleh Albert Einstein (dijuluki muslim tanpa syahadat). Di sini alam dipandang sebagai sebuah sistem kehidupan, satu kesatuan serta berkembang menjadikan dirinya sendiri dengan melakukan regenerasi bagi dirinya secara otonom. Inilah dikenal sebagai paradigma ekologis-ekosistem, memiliki keterkaitan, saling pengaruh dan interdependensi sesuai watak dan hakikat alam itu sendiri. Implikasi dari paradigma ini adalah alam lingkungan harus didekati dengan sikap “hormat”, bukan dominasi melinkan kerjasama dan dialogis. Alam harus dirawat agar sebaliknya alampun “merawat’ manusia. Karenanya interaksi ini harus melibatkan rasio dan rasa (intuisi) yang bermuara pada sikap dan perilaku etis. Nilai intrinsik pada alam membawa perubahan dan peralihan dari pandangan antroposentrisme menuju biosentrisme dan ekosentrisme yang memandang alam sama pentingnya dengan manusia.
- Dalam Islam misalnya Tauhid sebagai Metaphisical Paradigm
- Ide sentral, dasar untuk menjelaskan berbagai fenomena: alam (lingkungan-ekosistem ekologi) manusia dan agama.
- Esensi agama (Islam), inti pengalaman agama, prinsip kesatuan kemanusiaan (ummah) dan tata dunia menurut Al-Faruqi dan Fazlur Rahman; metaphisical paradigm tercermin sebuah hakekat hidup dengan prinsip-prinsip: Unity of Allah, Unity of Creation, Unity of truth, Unity of Life and Unity of Humanity. Pandangan ini meniscayakan atau dengan memposisikan al-Qur’an sebagai poros sekaligus sebagai fakta historis bahwa apa yang tersurat di dalam al-Qur’an adalah benar-benar realitas yang diyakini dan dapat diletakkan sebagai referensi dalam membaca/mengamati fenomena alam dan sejarah (termasuk sejarah agama)
- Unity of Creation (kesatuan penciptaan- alam semesta dan seisinya) yang pada hakikatnya adalah satu kesatuan; baik yang hayati maupun non hayati, di dalam relasi timbal balik yang serasi serta saling ketergatungan (interdependence). Relasi ini untuk membentuk tata lingkungan atau ekosistem dan ekologi. Hal ini bukan suatu kebetulan, melainkan sesuatu yang memang di sengaja dan direncanakan, diprogram secara sangat teliti dan akurat oleh Sang Maha Creator (Allah Swt Rabbul’alamin ).
- Di dalam al-Qur’an terdapat 73 kali penyebutan kata al-‘alamien seperti dikutip oleh Prof. Dien Syamsuddin sebagai ayat-ayat tentang lingkungan hidup. Al-Qur’an jualah yang mewartakan bahwa penciptaan alam semesta ini didasari dengan haqq (bil-haqq) dan tujuannya juga bil-haqq. Ada sejumlah ayat misalnya. {surah 5: 73, surah ibrahim: 19, an-nahl: 3, al-‘ankanbut: 44}. Lawan kata dari kata al-haqq adalah a-bathil – baathilan. Seperti pada ayat 191 surah 3 (ali Imran). Ayat-ayat ini menurut Allama Moh. Iqbal menjadi dasar lahirnya argumen teologis dan teleologis tentang eksistensi Allah Swt Dzat yang Maha Benar.
- Pada Unity of Creation ditetapkan hukum alam. (al Qur’an surah al-Furqan ayat 2). Hukum alam (Natural of Law) adalah tabiat, watak dasar, atau karakteristik alam semesta berupa: Hukum ketepatan, keteraturan, keserasian, keseimbangan dan keindahan, menjadi landasan bagi proses evolusi, rotasi, maupun migrasi. Semuanya berjalan secara tertib dan teratur mengikuti hukum alam (sunnatullah/fitratullah) (alqur’an surah 17: 70). Ketundukan alam pada hukum alam mencerminkan bahwa alam menampilkan sikap taat, tunduk, patuh dan pasrah- islaman tasliiman kepada Sang Pembuat Hukum Alam yakni Allah Swt. Sejumlah ayat al-Qur’an menyebutkan bahwa semesta ini bertasbih hanya kepada Allah (Qur’an surah 17: 44). Semesta ini juga sujud hanya pada Allah (surah 13 ayat 15), bahkan dilain ayat disebutkan bahwa semua makhluk di planet-planet dan juga di bumi bersama para malaikat bersujud kepada Allah Swt (surah 16: 49)
- Ekosistem bumi dan kehadiran manusia. Bumi kita ini menurut para pakar adalah suatu benda angkasa yang bundar seperti bola dengan belahan perduanya adalah Khatulistiwa. Ia mengawang-awang sejauh 8 menit perjalanan cahaya dari matahari. Silih berganti menghadapi dan membelakangi matahari menjadikan adanya rotasi siang malam, hingga pergantian bulan dan tahun serta pergantian musim.
- Bumi adalah suatu planet istimewa, padanya terdapat keanekaragaman makhluk hayati (genus species dan varitas) maupun non hayati. Bumi ini karunia Tuhan- rahmat terbesar buat umat manusia sebagai sarana manusia merealisasikan misi sucinya selaku khalifah Tuhan (al-Qur’an surah 2: 29-30). Sebagai rahmat Tuhan, bumi memunculkan berbagai ragam kehidupan dan mengembangkannya, dengan menjadikan air sebagai katalisatornya (surah 21: 30).
- Bulan telah berkali-kali diziarahi, ternyata di sana tidak ada air yang dapat menerbitkan dan mengembangkan kehidupan. Sementara di Bumi, udara kita mengandung air, di seluruh permukaan bumi mengalir air sungai dan anak sungai, bahkan ¾ dari permukaan bumi adalah air/samudera. Karenanya al-Qur’an pun menyebut kata albarru- daratan 13 kali=28% dan al-bahru (lautan 32 kali=71%). Air juga tercurah dari langit ditampung bumi berfungsi melembutkan tanah dan melarutkan mineral yang tersimpan di dalam tanah yang akan jadi makanan bagi banyak tanaman. Akar menjalar di dalam tanah yang lembut secara otomatis menghirup mineral-mineral yang telah dilarutkan oleh air, lalu mengalirlah mineral-mineral tersebut ke batang-batang, dahan dan ranting yang akhirnya bersarang di hijau daun. Dari sanalah terjadi persenyawaan antara mineral-mineral tersebut dengan zat asam arang (CO2) yang dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui udara. Bahkan energi dan panas matahari terbentuklah di hijau daun tersebut hidrat arang, sementara zat asam arang menguap ke udara agar dihirup oleh manusia, dan lain-lain.
- Jika tidak ada hijau daun (tumbuh-tumbuhan) maka dzat asam arang akan menumpuk dalam udara dan berakibat polusi yang membahayakan kehidupan, karena itu simbiosa mutualis yang menghasilkan aneka ragam daun-daun serta buah-buahan dan umbi-umbian yang bermanfaat bagi manusia dan hewan. Sementara cahaya matahari berguna untuk pembentukan warna-warni dedaunan nan indah dan artistik. Alam sesungguhnya merangsang manusia untuk menikmati keindahannya yang murni. Inilah ekosistem dan ekologi. Al-Qur’an menyebut (surah 78: 16)”Dan kebun-kebun yang Rindang ”. Air yang tidak diserap tanah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah memenuhi parit dan kali, danau dan sungai, hingga alkhirnya berkumpul di samudera. DI sana hidup dan berkembang biak beragam jenis ikan (protein) bagi kebutuhan manusia (surah 16: 14).
- Di dalam tanah yang basah hidup binatang-binatang melata (vermes- cacing) dan makhluk jenis mikro organisme. Renungkanlah sejenak ,, bahwa cacing dan mikro organisme adalah abdi manusia juga. Cacing dengan karakternya menggelamai tanah hingga longgar, memberi kemudahan bagi tudung akar, menjalar dan memudahkannya untuk menyerap dan mengisap makanan yang telah tersedia di dalam tanah. Bagaimana jadinya jika di tanah itu adalah tumpukan sampah plastik? Sementara mikroorganisme bagaikan ‘juru masak’ , dia mengurai daun yang gugur, batang yang tumbang, bahkan bangkai yang mati, direducer untuk dijadikan zat makanan baru bagi tumbuhan.
- Bumi dibungkus oleh lapisan udara setebal kira-kira 600 km. Ini juga adalah rahmat Allah yang tak terhingga nilainya. Lapisan udara ini melindungi makhluk di bumi dari serangan ‘bom-bom angkasa’ berupa batu-batu meteor yang bertebaran pada ruang yang ditempuh bumi kita ini dalam perjalanannya mengelilingi matahari. Bom-bom angkasa tersebut manakala bersentuhan dengan atmosfer bumi kita terjun dengan amat derasnya ke permukaan bumi. Tetapi dalam perjalanan terjun itu dalam masa yang teramat pendek sekali ia ditelan oleh samudera udara menjadi hancur dan kelihatan oleh kita manusia hanya sekilas saja cahaya di atas langit yang kita namai ‘cirit bintang’ atau meteor. Padahal awalnya ia adalah suatu batu baja raksasa yang teramat besar dan berat yang jika jatuh menimpa bumi akan menimbulkan bencana yang besar. Tetapi manusia tak usah khawatir bahwa ia akan ditimpa bahaya bom raksasa tersebut, karena dibentengi oleh samudera udara teramat tebal yang membungkus bumi ini. Bulan bernasib malang karena ia terus menerus ditimpa oleh bahaya bom raksasa tersebut tidak bisa bertahan karena ia tidak mempunyai lapisan udara seperti bumi kita. Untunglah di bulan tidak ada penghuninya. Selain membetengi bumi dari serangan bom-bom angkasa, samudera udara juga membentengi bumi beserta makhluk hidup di permukaan bumi dari serangan yang memusnahkan yang ditimpakan sinar berbahaya yang mungkin menguasasi antariksa diluar lapisan udara tersebut. Sinar itu ialah sinar X, sinar kosmis, sinar ultraviolet, dan lain lain. Sinar ini jika menimpa bumi akan menyebabkan kematian dan kemusnahan.
- Kekhalifahan yang disandang manusia adalah sebuah amanah untuk memakmurkan bumi ( QS. 11: 61 ). Karenanya tindakan merusak bumi yakni ekosistem adalah tindakan yang dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu jika dilihat dari sudut pandang tauhid, tindakan merawat dan memakmurkan bumi adalah untuk memakmurkan kehidupan manusia, dan sebaliknya merusaknya berakibat merusak kelangsungan kehidupannya sendiri. Dalam konteks ini saya mengutip pandangan Sayyed Hossein Nasr : Man and Nature; The Spiritual Crisis of Modern man, menyebut bahwa krisis yang tengah melanda kehidupan masyarakat modern, bermula dari sikap penegasian terhadap eksistensi Tuhan beserta segala yang bersifat spiritualitas, termasuk dalam cara pandang terhadap alam lingkungan. Alam ( lingkungah hidup ) ini adalah firman Tuhan atau disebutnya the Qur’an of Creation, yang diciptakannya dengan tujuan mulia, sebagai Teofani ( tajally ). Alam lingkungan sebagai salah satu sumber warta tentang Penciptanya.
Makalah disampaikan pada webinar Filsafah dan Etika Lingkungan Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Timur yang diselenggarakan MLH PWM Kaltim pada Jum’at, 11 September 2020.
Komentar